Rabu, 06 Februari 2013
Republik Apatis : Sebuah Proses Menuju Kematangan
Saya tertarik dengan tulisan mbak Upik beberapa waktu yang lalu. Menurut saya yang berfikiran seperti seperti itu tidak cuma beliau. Tapi sebagaimana komentar orang-orang ditulisan tersebut, ya inilah efek kebebasan demokrasi. Ujung-ujungnya akan berakhir pada fatwa standard kebebasan itu sendiri : kalau suka ya baca, kalau ngga suka ya jangan baca, jika ingin menciptakan keseimbangan ya buat tulisan yang “benar” menurut anda.
Begitupula dengan banyak tulisan seperti Partai Demokrat yang curang, atau fenomena facebook tentang Say No to Megawati, dan banyak tulisan lainnya, tiba-tiba sebuah pikiran terlintas dipikiran saya : jika tidak ada caleg yang bener, partai yang bener, pemimpin yang layak, apakah kita akan berakhir pada sebuah kesimpulan bahwa kita tidak perlu pemimpin, bernegara dan memiliki pemerintahan?
Dimata saya media itu ibarat Nabi. Dan para pewarta, siapapun itu termasuk semua orang yang menulis disini adalah da’i. Betapa besar amanah yang diemban para pewarta. Kita memang bisa membebaskan keputusan pada para pembaca. Tapi, apapun alasannya si pewarta punya tanggungjawab atas apa yang ditulisnya. Kita tidak bisa melarikan tanggungjawab itu hanya pada pembaca.
Menjadi komentator, penonton, memang selalu lebih enak dan lebih mudah daripada menjadi pelatih dan pemain itu sendiri. Memaki orang lain memang akan lebih mudah daripada memaki diri sendiri. Tapi ya begitulah. Demokrasi. Keseimbangan. Saya sendiri belum mengerti bagaimana menulis yang baik dan menciptakan batasan yang tepat dalam koridor obyektifitas.
Mungkin, ini hanya sebuah pendapat bodoh, salah satu cara untuk “menyeimbangkannya” adalah dengan masuk ke ranah “solusi”. Jika kita “melihat” ada yang tidak tepat dalam proses berdemokrasi ini, maka ada baiknya kita mengakhiri tulisan dengan mencoba memberikan alternatif solusinya. Bahwa solusi itu terdengar bodoh, setidaknya itu akan memancing orang lain memberikan solusi lain yang mungkin lebih bernas.
Saya sendiri melihat segala hal yang terjadi ini sebagai proses. Memang, saya punya kekhawatiran sendiri belakangan ini melihat kecenderungan kita yang cukup apatis dan negatif dalam melihat sesuatu. Buat saya, semua ini adalah proses. Negara kita mungkin terlihat terpuruk bahkan dibanding dari negara tetangga terdekat di Asean. Kita mungkin sedih jika membandingkan dulu Petronas belajar pada Pertamina dan sekarang sebaliknya. Begitupula dengan mahasiswa Asean yang dulu banyak belajar di negeri kita dan sekarangpun sebaliknya.
Tapi kembali, semua menurut saya adalah sebuah proses. Saya justru merasa ini hanya masalah waktu roda itu berputar. Saya malah sangat optimis. Lihat saja apa yang terjadi di tetangga kita. Mundurnya PM Malaysia beberapa waktu yang lalu mengingatkan saya pada Jatuhnya Rezim Soeharto 12 tahun lalu. Jatuhnya PM Thaksin Sinawatra tahun lalu melalui kudeta Militer oleh Som chai Wongsawat yang kemudian digoyang dan digantikan oleh Abhisit Vejjavija di Thailand adalah sebuah potret sama. Artinya? For me we one step a head, on process. Not on result. Tinggal kita melihat, apa yang dilakukan ; baik berdasarkan sejarah masa lalu negeri ini ataupun di negara lain; oleh mereka ketika menghadapi situasi seperti ini.
Hal yang sama berlaku dengan Politikana. Saya masih percaya pada apa yang pernah disampaikan oleh pada sepuh Pencetus dan Pengelola portal ini. Bahwa tujuan portal ini adalah untuk pendidikan politik. Dan saat ini politikana tengah menjalani prosesnya. Jika mereka munafik dan ternyata memiliki agenda terselubung, saya percaya hukum dunia online akan berlaku : akan ditinggal dan dicibirkan, sama seperti kita mencibir para politisi. Seperti komentar Mas Asep Mulyana tentang Tesis, Antitesis dan Sintesis, mari kita lalui sampai tuntas. (to mas Asep, great comment :) )
Dimata kaum optimistik, cobaan Tuhan adalah bentuk Kasih dan Sayang-Nya. Teman-teman saya sering bilang ketika saya bermasalah “Tuhan tengah memberi perhatian lebih padamu”.
So, mencoba melanjutkan sebuah pembahasan ke tahap solusi, tetap optimis dan berfikir positif, menjadi pelaku dan tidak berhenti di tahap komentator belaka adalah sedikit dari beberapa cara menyikapi. Kecuali kita menulis untuk sebuah popularitas ataupun rating. Maka metodologi yang dilakukan oleh pewarta infotainment perlu dilakukan : menulis borok, mendramatisir, dan kontroversial.
Lagi-lagi, semua ada pilihan. Dan pilihan itu ada ditangan kita.
Finally, maaf jika tidak berkenan. Hanya celoteh dari makhluk yang masih belajar dan berkekurangan
So, apa solusi kita di masa pesta demokrasi ini? Dan untuk Politikana?. Atau ada ide lain?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar