Nama lain dari Guillain Barre Syndrome adalah:
Idiopathic
polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis (polineuritis febril),
Infective Polyneuritis, Post Infectious Polyneuritis (polineuritis akut
pasca infeksi), Acute Inflammatory Demyelinating (polineuritis akut
toksik), Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry
Ascending paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome
A. DEFINISI
Guillain – Barre Syndrome
(GBS) adalah sindrom klinis yang ditunjukkan oleh awitan akut dari
gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit
mencakup demielinisasi dan degenerasi selaput myelin dan saraf perifer
kranial
GBS merupakan suatu penyakit autoimun, dimana proses imunologis tersebut langsung mengenai sistem saraf perifer
Guillain – Barre Syndrome
(GBS) adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang mengenai
radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf
kranialis, yang biasanya timbul setelah suatu infeksi
Parry
mengatakan bahwa GBS adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending
dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi
akut
Maka
dapat diambil kesimpulan bahwa GBS merupakan suatu sindroma klinis yang
ditandai adanya paralisis yang terjadi secara akut berhubungan dengan
proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan
nervus kranialis.
B. ETIOLOGI
Etiologi GBS
sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti dan masih
menjadi bahan perdebatan. Teori yang dianut sekarang ialah suatu
kelainan imunobiologik, baik secara primary immune response maupun immune mediated process. Periode laten antara infeksi dan gejala polineuritis
memberi dugaan bahwa kemungkinan kelainan yang terdapat disebabkan oleh
suatu respons terhadap reaksi alergi saraf perifer. Pada banyak kasus,
infeksi sebelumnya tidak ditemukan, kadang-kadang kecuali saraf perifer
dan serabut spinal ventral dan dorsal, terdapat juga gangguan di medula
spinalis dan medula oblongata.
Beberapa keadaan/ penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya GBS, antara lain:
- Infeksi virus atau bakteri
GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus GBS
yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1
sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran
pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal. Infeksi akut yang
berhubungan dengan GBS :
a. Virus: CMV, EBV, HIV, Varicella-zoster, Vaccinia/smallpox, Influenza, Measles, Mumps, Rubella, hepatitis, Coxsackie, Echo.
b. Bakteri: Campylobacter, Jejeni, Mycoplasma, Pneumonia, Typhoid, Borrelia B, Paratyphoid, Brucellosis, Chlamydia, Legionella, Listeria.
- Vaksinasi
- Pembedahan, anestesi
- Penyakit sistematik, seperti keganasan, Systemic Lupus Erythematosus, tiroiditis, dan penyakit Addison
- Kehamilan atau dalam masa nifas
- Gangguan endokrin
C. MANIFESTASI KLINIS
- Masa laten
Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya dan saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara satu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari. Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang timbul.
- Gejala Klinis
a. Kelumpuhan
Manifestasi
klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor
neurone dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga muka.
Pada sebagian besar penderita, kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas
bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas
dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis. Kelumpuhan
otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia.
Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari
bagian distal, tetapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih
berat dari bagian proksimal.
b. Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral. Defisit
sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti
pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih
sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot
sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.
c. Saraf Kranialis
Saraf
kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot
muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi
bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf
kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi
akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan
menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang
berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus.
d. Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita GBS. Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial flushing),
hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau
episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin
jarang dijumpai. Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu
atau dua minggu.
e. Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan
pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan
otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita.
f. Papiledema
Kadang-kadang
dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Diduga
karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan
penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang.
D. PATOFISIOLOGI
Akson
bermielin mengkonduksi impuls saraf lebih cepat dibanding akson tak
bermielin. Sepanjang perjalanan serabut bermielin terjadi gangguan dalam
selaput (nodus ranvier) tempat kontak langsung antara membran
sel akson dengan cairan ekstraseluler. Membran sangat permeabel pada
nodus tersebut, sehingga konduksi menjadi baik. Gerakan ion-ion masuk
dan keluar akson dapat terjadi dengan cepat hanya pada nodus ranvier, sehingga impuls-impuls saraf sepanjang serabut bermielin dapat melompat dari satu nodus ke nodus lain (konduksi salsatori) dengan cukup kuat.
Pada GBS,
selaput mielin yang mengelilingi akson hilang. Selaput mielin cukup
rentan terhadap cedera karena banyak agen dan kondisi, termasuk trauma
fisik, hipoksemia, toksik kimia, insufisiensi vaskular, dan reaksi
imunologi. Demielinasi adalah respons umum dari jaringan saraf terhadap
banyak kondisi yang merugikan ini. Kehilangan serabut mielin pada Guillain – Barre Syndrome membuat konduksi salsatori tidak mungkin terjadi, dan transmisi impuls saraf dibatalkan.
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada GBS
masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan
bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui
mekanisme imunologi (proses respon antibodi terhadap virus atau bakteri)
yang menimbulkan kerusakan pada syaraf tepi hingga terjadi kelumpuhan
Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. Didapatkannya
penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh
darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada GBS
dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang
dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah
infeksi virus.
Akibat suatu infeksi atau keadaan tertentu yang mendahului GBS
akan timbul autoantibodi atau imunitas seluler terhadap jaringan sistim
saraf-saraf perifer. Infeksi-infeksi meningokokus, infeksi virus,
sifilis ataupun trauma pada medula spinalis, dapat menimbulkan
perlekatan-perlekatan selaput araknoid. Di negara-negara tropik
penyebabnya adalah infeksi tuberkulosis. Pada tempat-tempat tertentu
perlekatan pasca infeksi itu dapat menjirat radiks ventralis (sekaligus
radiks dorsalis). Karena tidak segenap radiks ventralis terkena jiratan,
namun kebanyakan pada yang berkelompokan saja, maka radiks-radiks yang
diinstrumensia servikalis dan lumbosakralis saja yang paling umum
dilanda proses perlekatan pasca infeksi. Oleh karena itu kelumpuhan LMN
paling sering dijumpai pada otot-otot anggota gerak, kelompok otot-otot
di sekitar persendian bahu dan pinggul. Kelumpuhan tersebut bergandengan
dengan adanya defisit sensorik pada kedua tungkai atau otot-otot
anggota gerak. Secara patologis ditemukan
degenerasi mielin dengan edema yang dapat atau tanpa disertai infiltrasi
sel. Infiltrasi terdiri atas sel mononuklear. Sel-sel infiltrat
terutama terdiri dari sel limfosit berukuran kecil, sedang dan tampak
pula, makrofag, serta sel polimorfonuklear pada permulaan penyakit.
Setelah itu muncul sel plasma dan sel mast. Serabut saraf mengalami
degenerasi segmental dan aksonal. Lesi ini bisa terbatas pada segmen
proksimal dan radiks spinalis atau tersebar sepanjang saraf perifer.
Predileksi pada radiks spinalis diduga karena kurang efektifnya
permeabilitas antara darah dan saraf pada daerah tersebut.
Perjalanan penyakit
Perjalanan alamiah GBS, skala waktu dan beratnya kelumpuhan bervariasi antara berbagai penderita GBS. Perjalan penyakit ini terdiri dari 3 fase, yaitu :
1. Fase progresif
Dimulai
dari onset penyakit, dimana selama fase ini kelumpuhan bertambah berat
sampai mencapai maksimal. Fase ini berlangsung beberapa dari sampai 4
minggu, jarang yang melebihi 8 minggu.
2. Fase plateau
Kelumpuhan
telah mencapai maksimal dan menetap. Fase ini bisa pendek selama 2
hari, aling sering selama 3 minggu, tapi jarang yang melebihi 7 minggu.
3. Fase rekonvalesen
Ditandai oleh timbulnya perbaikan kelumpuhan ektremitas yang berlangsung selama beberapa bulan.Seluruh perjalanan penyakit GBS ini berlangsung dalam waktu yang kurang dari 6 bulan.
Peran imunitas seluler
Dalam
sistem kekebalan seluler, sel limfosit T memegang peranan penting
disamping peran makrofag. Prekursor sel limfosit berasal dari sumsum
tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum
dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan peredaran. Sebelum respon
imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan
pada limfosit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan
(fagositosis) antigen/ terangsang oleh virus, allergen atau bahan
imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell
= APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T
(CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi
marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta
alfa TNF. Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan
oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah
saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen.
E. PATOLOGI
Pada
pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf
tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan
pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat,
kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari
ke lima,
terlihat beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari
ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tiga belas. Perubahan
pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif,
sehingga pada hari ke enampuluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi
telah hancur. (2)
Asbury,
dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi
sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan
epineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson.
F. PEMERIKSAAAN PENUNJANG (1, 2, 3, 5)
1. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran
laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam cairan
otak (> 0,5 mg%) tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam
cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar
protein dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset
penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu. Jumlah sel
mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil
penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak.
Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada
beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate Antidiuretik Hormone).
2. Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis GBS
adalah kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat. Distal
motor retensi memanjang kecepatan hantaran gelombang-f melambat,
menunjukkan perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf. Di
samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga
berguna untuk menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan potensial
denervasi menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak
sembuh sempurna.
G. DIAGNOSIS
Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah kriteria dari National Institute of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:
1. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:
Terjadinya kelemahan yang progresif
Hiporefleksi
2. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis GBS:
a. Gejala klinis:
Diagnosa GBS terutama ditegakkan secara klinis. GBS
ditandai dengan timbulnya suatu kelumpuhan akut/ kelemahan motorik
yang progresis cepat (maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam
2 minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu), relatif simetris
yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon (arefleksi atau
hipofleksia) dan didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah
mengalami demam disertai disosiasi sitoalbumin pada likuor dan gangguan
sensorik ringan dan motorik perifer. Gejala saraf kranial ± 50% terjadi
parese N VII dan sering bilateral. Saraf otak lain dapat terkena
khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang < 5%
kasus, neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain.
Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat
memanjang sampai beberapa bulan. Disfungsi otonom. Takikardi dan
aritmia, hipotensi postural,hipertensi dan gejala vasomotor. Tidak ada
demam saat onset gejala neurologis.
b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:
Gambaran
cairan otak Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi
peningkatan pada LP serial Jumlah sel mononuklear cairan otak < 10
sel/mm.
Varian:
1) Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala
2) Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3
c. Pemeriksaan EMG
Gambaran
elektrodiagnostik yang mendukung diagnose : terdapat perlambatan
kecepatan hantar/ konduksi saraf pada EMG bahkan blok pada 80% kasus.
Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal.
H. DIAGNOSIS BANDING (2)
1. Kelumpuhan asimetris yang menetap.
2. Gangguan kandung kemih dan defekasi yang menetap.
3. Gangguan kandung kemih dan defekasi pada onset.
4. Jumlah sel mononuklear dalam cairan otak > 50 sel mm3.
5. Terdapat leukosit PMN dalam cairan otak.
6. Gangguan sensibilitas berbatas tegas.
7. Poliomielitis,
botulisme, histeri atau neuropati toksik (misalnya karena keracunan
timbal/ timah hitam, itrofurantoin, dapsone, organofosfat), Diphtheric
paralysis, Sindroma miller-fisher, Defisit sensoris kranialis,
Pandisautonomia murni, Chronic acquired demyyelinative neuropathy,
Porfiria intermitten akut.
I. PROGNOSIS
Dahulu
sebelum adanya ventilasi buatan lebih kurang 20 % penderita meninggal
oleh karena kegagalan pernafasan. Sekarang ini kematian berkisar antara
2-10 %, dengan penyebab kematian oleh karena kegagalan pernafasan,
gangguan fungsi otonom, infeksi paru dan emboli paru. Sebagian besar
penderita (60-80 %) sembuh secara sempurna dalam waktu enam bulan.
Sebagian kecil (7-22 %) sembuh dalam waktu 12 bulan dengan kelainan
motorik ringan dan atrofi otot-otot kecil di tangan dan kaki (2,3).
Kira-kira 3-5 % penderita mengalami relaps (2).
J. PENATALAKSANAAN
Pada
sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum
bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh
sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka
kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus
diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan
mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi). (2, 4)
1. Sindrom, Guillain Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien diatasi di unit perawatan intensif. (2, 4)
a. Pengaturan jalan napas
Respirasi
diawasi secara ketat terhadap perubahan kapasitas vital dan gas darah
yang menunjukkan permulaan kegagalan pernafasan. Setiap
ada tanda kegagalan pernafasan maka penderita harus segera dibantu
dengan oksigenasi dan pernafasan buatan. Trakheotomi harus dikerjakan
atau intubasi penggunaan ventilator jika pernafasan buatan diperlukan
untuk waktu yang lama atau resiko terjadinya aspirasi. Walaupun pasien
masih bernafas spontan, monitoring fungsi respirasi dengan mengukur
kapasitas vital secara regular sangat penting untuk mengetahui
progresivitas penyakit.
b. Pemantauan EKG dan tekanan darah
Monitoring
yang ketat terhadap tekanan darah dan EKG sangat penting karena
gangguan fungsi otonom dapat mengakibatkan timbulnya hipotensi atau
hipertensi yang mendadak serta gangguan irama jantung. Untuk mencegah
takikardia dan hipertensi, sebaiknya diobati dengan obat-obatan yang
waktu kerjanya pendek (short-acting), seperti : penghambat beta atau
nitroprusid, propanolol. Hipotensi yang
disebabkan disotonomi biasanya membaik dengan pemberian cairan iv dan
posisi terlentang (supine). Atropin dapat diberikan untuk menghindari
episode brakikardia selama pengisapan endotrakeal dan terapi fisik.
Kadang diperlukan pacemaker sementara pada pasien dengan blok jantung
derajat 2 atau 3.
c. Plasmaparesis
Pertukaran plasma (plasma exchange)
yang menyebabkan reduksi antibiotik ke dalam sirkulasi sementara, dapat
digunakan pada serangan berat dan dapat membatasi keadaan yang memburuk
pada pasien demielinasi. Bermanfaat bila
dikerjakan dalam waktu 3 minggu pertama dari onset penyakit. Jumlah
plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg. Dalam waktu
7-14 hari dilakukan tiga sampai lima kali exchange. Plasmaparesis atau
plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang
beredar. Albumin : dipakai pada plasmaferesis, karena Plasma pasien
harus diganti
dengan suatu substitusi plasma.
d. Perlu
diperhatikan pemberian cairan dan elektrolit terutama natrium karena
penderita sering mengalami retensi airan dan hiponatremi disebabkan
sekresi hormone ADH berlebihan.
e. Ileus paralitik terkadang ditemukan terutama pada fase akut sehingga parenteral nutrisi perlu diberikan pada keadaan ini.
2. Perawatan umum : (2, 4)
a. Mencegah timbulnya luka baring/bed sores dengan perubahan posisi tidur.
b. Fisioterapi yang teratur dan baik juga penting. Fisioterapi
dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps aru.
Segera setelah penyembuhan mulai fase rekonvalesen) maka fisioterapi
aktif dimulai untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot.
c. Spint mungkin diperlukan untuk mempertahakan posisi anggota gerak yang lumpuh,
d. Kekakuan sendi dicegah dengan gerakan pasif. Gerakan pasti pada kaki yang lumpuh mencegah deep voin thrombosis.
e. Perawatan kulit, kandung kemih, saluran pencernaan, mulut, faring dan trakhea.
f. Infeksi paru dan saluran kencing harus segera diobati.
g. Bila ada nyeri otot dapat dapat diberikan analgetik.
3. Pengobatan (2, 4)
a. Kortikosteroid
Seperti : azathioprine, cyclophosphamid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi GBS.
Peter melaporkan kemungkinan efek steroid dosis tinggi intravenous
menguntungkan. Dilaporkan 3 dari 5 penderita memberi respon dengan
methyl prednisolon sodium succinate intravenous dan diulang tiap 6 jam
diikuti pemberian prednisone oral 30 mg setiap 6 jam setelah 48 jam
pengobatan intravenous.
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.
b. Profilaksis terhadap DVT (deep vein thrombosis)
Pemberian
heparin dengan berat molekuler yang rendah secara subkutan (fractioned
Low Molecular Weight Heparin/ fractioned LMWH) seperti : enoxaparin,
lovenox dapat mengurangi insidens terjadinya tromboembolisme vena secara
dramatik, yang merupakan salah satu sekuele utama dari paralisis
ekstremitas. DVT juga dapat dicegah dengan pemakaian kaus kaki tertentu (true gradient compression hose/ anti embolic stockings/ anti-thromboembolic disease (TED) hose).
c. Pengobatan imunosupresan:
1) Imunoglobulin IV
Beberapa
peneliti pada tahun 1988 melaporkan pemberian immunoglobulin atau
gamaglobulin pada penderita GBS yang parah ternyata dapat mempercepat
penyembuhannya seperti halnya plasmapharesis. Gamaglobulin
(Veinoglobulin) diberikan perintravena dosis tinggi. Pengobatan dengan
gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis
karena efek samping/komplikasi lebih ringan tetapi harganya mahal.
Dosis aintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan
dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.
imunoglobulin intravena (IVIG 7s) : dipakai untuk memperbaiki aspek
klinis dan imunologis dari GBS dan Dosis dewasa adalah 0,4 g/kg/hari
selama 5 hari (total 2 g selama 5 hari) dan bila perlu diulang setelah 4
minggu. Kontraindikasi IVIg : adalah
hipersensitivitas terhadap regimen ini dan defisiensi IgA, antibodi anti
IgE/ IgG. Tidak ada interaksi dng obat ini dan sebaiknya tidak
diberikan pd kehamilan.
2) Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah 6 merkaptopurin (6-MP).
K. KOMPLIKASI
Paralysis
yang persisten, kegagalan pernafasan, ventilasi mekanik, hipotensi atau
hipertensi, tromboembolisme, pneumonia, kulit yang pecah, aritmia
kardial, ieus, aspirasi, retensi urinae, problem psikiatrik (seperti :
depresi dan ansietas).